Minggu, 29 November 2009

Ekonomi Kerakyatan Syariah melalui Pembangunan HTR: Marissa Haque*

Minggu, 29 November 2009

Ekonomi Kerakyatan  Pembangunan HTR melalui Syariah


HTR (Hutan Tanaman Rakyat)
Membaca kembali berita di Kompas tertanggal 16 Oktober 2009 lalu, terkait dengan perolehan permodalan terkait dengan keinginan membangun hutan tanaman rakyat membuat hati ini harap-harap cemas. Setelah berbagai kesulitan terkait dengan sumber pembiayaan dalam negeri saat lalu ditambah lagi dengan keberadaan kasus pidana Bank Century sampai-sampai menimbulkan sebuah frasa dan diksi baru yaitu ‘Cicak vs Buaya.’ Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan di Dephut menyatakan telah menyediakan dana Rp 840 Miliar untuk untuk Hutan kredit Tanaman Rakyat in oleh Koperasi atau Kelompok Tani (Gapoktan).

Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P3H) di Dephut Deny Kustiawan pada tanggal 15 Oktober 2009 lalu menerangkan lebih jauh bahwa telah tercatat ada 2 (dua) pemegang izin HTR (Hutan Tanaman Rakyat) yang telah mengajukan diri tertarik pada pinjaman dengan sumber pembiayaan Dephut tersebut, yaitu: (1) Sumatra Utara; dan (2) Maluku Utara.

P3H ini sendiri sekarang tengah mengelola dana Reboisasi sebesar Rp 1,4 Trilyun,-, dimana sebagian dari dana tersebut digunakan untuk kredit pembangunan HTR, dan sebagian lagi sebesar Rp 560 Milyar,- untuk HTR (hutan tanaman industri.) Teknis pengajuannya adalah dengan mengajukan kredit tersebut kepada Bupati diwilayah kompetensi kerjanya masing-masing. Dengan teknis sebagai berikut: (1) Bupati menerbitkan cadangan kawasan hutan produksi utnuk HTR atas nama kelompok tani ataupun koperasi; selanjutnya (2) Menhut menerbitkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR.

Konsep kerja dari sistem pembiayaan ini dibangun berdasarkan prinsip kerja “kemitraan.” Dimana petani/gapoktan boleh menggandeng/digandeng oleh para pihak lain untuk mmbangun HTR tersebut. Roni Syaefulah dari Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Dephut menerangkan lebih lanjut bahwa dengan swadaya artinya para petani.gapoktan membangun sendiri, dan pola pengembangan dimaksukan bahwa investor membangun HTR lalu menjualnya melalui P3H. kemudian masyarakat mengangsur pembayaran melalui P3H.

Jemput Bola Ekonomi Syariah
MES (Maysarakat Ekonomi Syariah) secara sangat jeli melihat kesempatan terbuka bagi sektor pembiayaan HTR ini sebagai salah satu bidang sosialisasi sistem bagi hasil berbasis ilmu ekonomi Islam dimana sektor ekonominya memiliki underlying asset yang nyata harus dapat memanfaatkan peluang potensi pembiayaan pemangunan HTR tersebut. Menurut Sekjen Asosiasi Ahli Ekonomi Islam Agustianto, pinjamaan dengan pola pembiayaan syariah dimana pemilik modal dan pekerja membagi resiko usaha dukup adil untuk dijalankan didalam bisnis HTR ini. Jadi tunggu apa lagi? Tinggal MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) melalui Ketum dan atau Sekjennya dapat pro aktif menjemput bola dengan mengadakan pendekatan kepada para instansi terkait, antara lain: (1) Dephut melalui Menteri Kehutanan; (2) Kemnekop-UKM melalui Menkop-UKM; (3) Bank Indonesia memalui Deputy Pembiayaan Syariah, dan lain sebaginya.

* Marissa Haque Fawzi
   Ketua Bidang Sosialisasi MES (Masyarakat Ekonomi Syariah)

Sabtu, 14 November 2009

Tentang Pusat Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta

Terdorong ingin ikut menyuarakan pentingnya keberpihakan pada masyarakat strata luas pada lini tengah-agak bawah, saya memberanikan diri meng-copy-paste dari sumber aslinya dikampusku dengan alamat sebagai berikut:

 



Pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dipicu oleh keprihatinan terhadap perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia, tidak hanya semakin jauh dari cita-cita proklamasi tetapi juga semakin meminggirkan rakyat dalam proses penyelenggaraan ekonomi. Secara resmi, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM yang lahir dengan nama Pusat Studi Ekonomi Pancasila, dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2002 berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 177/P/SK/HKTL/2002, dengan Kepala Prof. Dr. Mubyarto (Alm).

Perubahan nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan terjadi pada tanggal 3 April 2006 yaitu dengan terbitnya SK Rektor Universitas Gadjah Mada No. 176/P/SK/HT/2006.


Alasan perubahan nama ini antara lain adalah:

(1) untuk menyesuaikan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk menyelenggarakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan; (2) amanat Tap MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004; (3) amanat Tap MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional; (4) untuk meningkatkan peran Pusat Studi dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan; (5) untuk memperluas peluang Pusat Studi dalam mengembangkan diri.

Tujuan pendirian PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah untuk melaksanakan kajian-kajian serius dalam bidang teori dan praksis ekonomi Indonesia, baik yang bersifat induktif-empirik maupun deduktif-logis. Kajian-kajian melalui pendekatan multi-disipliner tersebut dijalankan dengan mengacu langsung pada dasar filsafat dan ideologi nasional. Rumusan tentang cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Mekanisme operasional untuk mewujudkan cita-cita tersebut terumuskan dalam pasal 33 ayat 1, 2, dan 3, UUD 1945. Pasal-pasal ini sesungguhnya merupakan upaya perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat dan untuk mengoreksi struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kegiatan utama PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan sistem ekonomi kerakyatan di berbagai tempat di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut sebagian besar diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel ilmiah. Selama periode 2002 – 2005, tidak kurang dari 32 judul buku dan makalah yang diterbitkan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Kegiatan penting lainnya adalah pelatihan, lokakarya, dan seminar bulanan. Permasalahan Permasalahan yang digarap oleh PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM tidak dapat dipisahkan dari semakin dominannya pengaruh globalisasi dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Saat ini globalisasi memang merupakan mantra yang selalu harus dilekatkan pada setiap gerak ekonomi, bahkan menjadi resep mujarab (prescription) bagi pemecahan berbagai masalah dunia.

Ada keyakinan global bahwa perdagangan dan pergerakan kapital dan informasi yang berlangsung secara bebas akan menghasilkan hal terbaik bagi kemajuan perekonomian dunia. Dengan demikian, globalisasi dan liberalisasi dipandang sebagai cara terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Itulah kini yang banyak diyakini orang dan secara sistematis disosialisasikan oleh IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan dunia (WTO).



Globalisasi dalam pengertian inilah yang disebut dengan globalisasi neoliberal. Neoliberalisme adalah satu gerakan yang ingin mengusung ideologi kapitalisme-liberalisme klasik yang mendambakan kebebasan penuh, yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir dan kebijakan ekonomi di negara-negara sedang berkembang. Sementara itu, paradigma pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni ajaran-ajaran ekonomi Neoklasik yang sarat dengan kepentingan kaum fundamentalis pasar.

Paradigma pendidikan ekonomi seperti itu tidak hanya bias terhadap usaha-usaha besar di sektor modern tetapi juga abai terhadap ekonomi rakyat tempat sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan nasibnya. Secara sistematis sistem pendidikan ekonomi yang bercorak kapitalis-neoliberal tersebut dikukuhkan dalam desain kurikulum, metode pembelajaran, buku-buku ajar, dan kerangka berpikir staf pengajar ilmu ekonomi yang berorientasi neoliberal.

Jumat, 16 Oktober 2009

Marketing Syariah untuk Ekonomi Kerakyatan dari MES & Syakir Sula

JAKARTA-- Masalah pergaulan terdapat dua pilihan, yaitu benar atau salah. Hal tersebut diungkapkan Marissa Haque ketika menghadiri peluncuran buku "Marketing Bahlul" karya penulis Syakir Sula di Jakarta, akhir pekan lalu.

"Sekarang pemikiran tahta, harta, dan wanita masih menjadi patokan para pengusaha,"ujar istri dari Ikang Fawzi itu. Menurutnya, hal tersebut membuat orang mudah terpeleset dan menjadi bahlul.
Sumber: http://www.syakirsula.com/content/view/16/63/





By Republika Newsroom

Senin, 17 November 2008

ELLVITA/DOK REPUBLIKAISLAMI: Artis dan politisi Marissa Haque mengaku hidupnya kini semakin islami untuk membentengi diri di dunia politik.

Dia juga sangat menyadari, dunia politik yang digelutinya juga mudah membuat terpeleset. "Saya pernah menyesal atas perbuatan yang saya lakukan, dan saya sempat bertanya apakah saya pantas masuk surga," ujarnya serius.

Menurutnya, masalah kejujuran juga sangat penting dalam kehidupan. "Mengatakan sebuah kejujuran itu pahit tapi itu sebuah kewajiban," katanya lagi. Dia sendiri mengaku, sejauh ini, hidupnya semakin islami.

Terlebih saat ini dia, menjadi Duta Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) bersama Riri Reza. Marissa juga kini menjabat Ketua Lembaga Keuangan Mikro Ekonomi Syariah di Partai Persatuan Pembangunan. Terakhir turut meresmikan berdirinya, Islamic Banking School di Bandung. (cr2/ri)

Kamis, 15 Oktober 2009

Islamic Banking School Bandung Telah Memulainya: Marissa Haque

Setelah didaulat untuk menjadi Duta Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) bersama Riri Reza, Marissa juga kini menjabat Ketua Lembaga Keuangan Mikro Ekonomi Syariah di Partai Persatuan Pembangunan turut meresmikan berdirinya, Islamic Banking School di Bandung. (cr2/ri)


Ketua Lembaga Studi Keuangan Mikro Syariah memaparkan materinya pada Stadium General dan Pembukaan Masa Perkuliahan Perdana IBS atau Islamic Banking School di Auditorium Kampus Dakwah jalan Batik Halus Kota Bandung, Senin 20 Oktober 2008.

Acara yang bertemakan "Prospek Perbankan Syariah Ditengah Krisis Ekonomi Global dan Peluang SDI Perbankan dalam Pemberdayaan Ummat." Menghadirkan Pimpinan cabang Bank Mega Syariah Bandung Dewi Mayangsari dan Dekan MKS UIN Bandung Ahmad Hasan Ridwan.

Minggu, 04 Oktober 2009

Visi, Misi, Tujuan, Strategi, Program: Marissa Haque Fawzi


http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/


VISI
Berdasarkan ideologi nasional, amanat konstitusi, dan tuntutan permasalahan yang ada, maka visi PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM dirumuskan sebagai berikut:

Menjadi pusat pemikiran, pengembangan, dan simpul utama jaringan gerakan ekonomi kerakyatan di Indonesia


MISI
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang berfokus pada pengembangan pemikiran, penyebarluasan, dan simpul jaringan gerakan ekonomi kerakyatan, maka misi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan-UGM dirumuskan sebagai berikut :

1. Menyelenggarakan penelitian yang berbasis pada pengembangan sistem ekonomi kerakyatan

2. Melakukan pelatihan yang berkaitan dengan hasil-hasil penelitian mengenai pengembangan sistem ekonomi kerakyatan

3. Menyebarluaskan gagasan mengenai tata kerja dan metode pengukuran perkembangan ekonomi kerakyatan melalui penerbitan publikasi dan dokumentasi.

4. Mengembangkan forum ilmiah dan diskusi-diskusi kritis dalam perspektif ekonomi kerakyatan

5. Membangun jaringan gerakan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan


TUJUAN
Berdasarkan visi dan misi yang telah dirumuskan diatas, dirumuskan tujuan yang ingin dicapai oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan-UGM sebagai berikut:

1. Berkembangnya kritik terhadap gagasan dan praksis ekonomi yang tidak demokratis

2. Tumbuhnya kesadaran dan pemahaman bahwa ekonomi kerakyatan adalah kebutuhan bangsa Indonesi

3. Terwujudnya kerjasama dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan dengan berbagai pihak seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan berbagai pihak lainnya.

4. Tersedianya indikator perkembangan sistem ekonomi kerakyatan berdasarkan variabel-variabel yang terukur.

5. Terselenggaranya sistem ekonomi kerakyatan sesuai pasal 33 UUD 1945 secara nasional.


STRATEGI
Dalam rangka melaksanakan visi, misi, dan tujuan tersebut, serta sesuai dengan kapasitas internal dan lingkungan kontekstual yang ada, maka Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan memposisikan diri sebagai kekuatan ”penyeimbang” terhadap pemikiran ekonomi arus utama. Hal itu diwujudkan dalam bentuk pengembangan wacana tandingan (counter hegemony) terhadap hegemoni wacana arus utama.

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan berupaya agar dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan ekonomi, pada tingkat nasional, sektoral, dan lokal. Hal itu dilakukan melalui pengembangan desain penelitian dan fokus-fokus diskusi yang menempatkan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan di garda depan demokratisasi ekonomi Indonesia. Bahkan PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM akan masuk hingga ke wilayah praksis dengan mengefektifkan jaringan gerakan ekonomi kerakyatan yang ada.


PROGRAM
Untuk melaksanakan strategi tersebut maka ditetapkan lima program prioritas PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM sebagai berikut:

1. penelitian,

2. pelatihan,

3. dokumentasi dan publikasi,

4. pengembangan forum ilmiah, dan pengembangan jaringan.

Pusat Ekonomi Kerakyatan di UGM: Marissa Haque Fawzi


Terdorong ingin ikut menyuarakan pentingnya keberpihakan pada masyarakat strata luas pada lini tengah-agak bawah, saya memberanikan diri meng-copy-paste dari sumber aslinya dikampusku dengan alamat sebagai berikut:

http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/


Tentang Pusat Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta

Pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dipicu oleh keprihatinan terhadap perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia, tidak hanya semakin jauh dari cita-cita proklamasi tetapi juga semakin meminggirkan rakyat dalam proses penyelenggaraan ekonomi. Secara resmi, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM yang lahir dengan nama Pusat Studi Ekonomi Pancasila, dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2002 berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 177/P/SK/HKTL/2002, dengan Kepala Prof. Dr. Mubyarto (Alm).

Perubahan nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan terjadi pada tanggal 3 April 2006 yaitu dengan terbitnya SK Rektor Universitas Gadjah Mada No. 176/P/SK/HT/2006.

Alasan perubahan nama ini antara lain adalah:
(1) untuk menyesuaikan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk menyelenggarakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan; (2) amanat Tap MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004; (3) amanat Tap MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional; (4) untuk meningkatkan peran Pusat Studi dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan; (5) untuk memperluas peluang Pusat Studi dalam mengembangkan diri.

Tujuan pendirian PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah untuk melaksanakan kajian-kajian serius dalam bidang teori dan praksis ekonomi Indonesia, baik yang bersifat induktif-empirik maupun deduktif-logis. Kajian-kajian melalui pendekatan multi-disipliner tersebut dijalankan dengan mengacu langsung pada dasar filsafat dan ideologi nasional. Rumusan tentang cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Mekanisme operasional untuk mewujudkan cita-cita tersebut terumuskan dalam pasal 33 ayat 1, 2, dan 3, UUD 1945. Pasal-pasal ini sesungguhnya merupakan upaya perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat dan untuk mengoreksi struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kegiatan utama PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan sistem ekonomi kerakyatan di berbagai tempat di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut sebagian besar diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel ilmiah. Selama periode 2002 – 2005, tidak kurang dari 32 judul buku dan makalah yang diterbitkan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Kegiatan penting lainnya adalah pelatihan, lokakarya, dan seminar bulanan. Permasalahan Permasalahan yang digarap oleh PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM tidak dapat dipisahkan dari semakin dominannya pengaruh globalisasi dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Saat ini globalisasi memang merupakan mantra yang selalu harus dilekatkan pada setiap gerak ekonomi, bahkan menjadi resep mujarab (prescription) bagi pemecahan berbagai masalah dunia.

Ada keyakinan global bahwa perdagangan dan pergerakan kapital dan informasi yang berlangsung secara bebas akan menghasilkan hal terbaik bagi kemajuan perekonomian dunia. Dengan demikian, globalisasi dan liberalisasi dipandang sebagai cara terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Itulah kini yang banyak diyakini orang dan secara sistematis disosialisasikan oleh IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan dunia (WTO).

Globalisasi dalam pengertian inilah yang disebut dengan globalisasi neoliberal. Neoliberalisme adalah satu gerakan yang ingin mengusung ideologi kapitalisme-liberalisme klasik yang mendambakan kebebasan penuh, yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir dan kebijakan ekonomi di negara-negara sedang berkembang. Sementara itu, paradigma pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni ajaran-ajaran ekonomi Neoklasik yang sarat dengan kepentingan kaum fundamentalis pasar. Paradigma pendidikan ekonomi seperti itu tidak hanya bias terhadap usaha-usaha besar di sektor modern tetapi juga abai terhadap ekonomi rakyat tempat sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan nasibnya. Secara sistematis sistem pendidikan ekonomi yang bercorak kapitalis-neoliberal tersebut dikukuhkan dalam desain kurikulum, metode pembelajaran, buku-buku ajar, dan kerangka berpikir staf pengajar ilmu ekonomi yang berorientasi neoliberal.

Pak Boediono Cukupkah Berekonomi Kerakyatan?

Pak Prof. Dr. Boediono yang Saya Dengar dari FEB, UGM
Rasanya beliau pernah terlibat didalam sebuah riset bersama dengan almarhum Prof. Mubyarto semasa baru pulang dari Perth, Australia Barat lalu.

Namun dengan komposisi tim ekonomi Presiden SBY belakangan ini, apakah hipotesa kita semua bahwa Prof. Boed condong pada ekonomi kerakyatan dapat terbukti?




Pak Boediono Cukupkah Berekonomi Kerakyatan?

Kita tungu sampai selesai tanggal pelantikan pada 20 Oktober 2009 besok ini. Semoga hanya yang terbaik saja dari Allah Azza wa Jalla untuk kita semuanya.

Bismillaaaaaahhh...

Pasar Tradisional Sebentar Lagi Tinggal Kenangan: Marissa Haque


Pasar Tradisional Sebentar Lagi Tinggal Kenangan

Empatiku yang luar biasa kepada pasar tradisional ketika melihat data yang ada. Memang data ditanganku ini bukan yang paling terakhir, namun tahun 2007 bukanlah tahun yang terlalu lama telah lewat. Dimana sejumlah 4.707 pasar tradisional ditinggalkan pedagang karena kalah brrsaing dengan ritel modern dalam lokasi yang sama. Angka diatas tersebut adalah setara dengan besaran 35% dari total pasar tradisional diseluruh Indonesia.

Percepatan pertumbuhan ritel modern didalam kurun waktu sangat singkat berhasil menggilas sumber pendapatan wong cilik pada lini akar rumput. Data yang saya peroleh dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional menyatakan bahwa pada tahun 2007 jumlah total pedagang tradisional terdapat sebanyak 12.625.000 pedagang, namun pada akhir tahun 2008 tercatat tinggal 11.000.000 pedagang saja. Sehingga total dala jangka waktu hanya setahun, sebanyak 1.625.000 pedagang yang gulung tikar. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus dan didalam kampanye Capres dan Cawapres 2009 ini hanya ada 1 (satu) saja pasangan yang menyentuh kepentingan perlingan pada kelompok ini dapat dibayangkan tak lama lagi sebagian besar dari mereka akan mati pelan-pelan seperti apa yang pernah dijelaskan didalam teori Darwin terkait dengan istilah proper to the fittest.




Ritel Masuk Desa Tasik dan Garut, Jabar

Penyebab yang signifikan membunuh para pedagang tradisional ini adlah ketika pasar ritel modern yang tadinya hanya berada dikota-kota besar kemudian merambah tak terkendali hingga masuk kedesa-desa. Sebagai contoh adalah wilayah Dapil Jabar 10 dan 11 ketika kampanye legislatifya ng baru lalu kemarin – sekitar Garut dan Tasikmalaya.

Dikota Tasikmalaya yang memiliki luas 171 km2 sekarang ini telah berdiri 9 buah supermarket dan 13 minimarket, ditambah 1 buah hypermarket yang berlokasi didalam pusat belanja Maya Sari Plaza – sebelumnya adalah sebuah pasar tradisional. Ritel modern ini menawarkan harga jual yang jauh lebih murah serta suasana yang lebih nyaman kepada para pengunjungnya. Barang lebuh murah yang ditawarkan kepada pembeli biasanya berkisar sekitar consumer goods dan house holds dari tusuk gigi, peniti sampai barang elektronika. Beberapa diversivikasi usaha yang merupakan SBU (strategic business unit) dari peritel ini adalah juga memproduksi sendiri beberapa produk urusan rumah tangga, antara lain seperti: kecap, kertas tisu, dan lain sebagainya dengan memakai merek mereka sendiri yang mereka sebut sebagai private label semisal yang telah diproduksi peritel asal Perancis Carrefour. Biasanya produk-produk yang diproduksi oleh peritel besar ini jatuhnya menjadi sangat murah karena mereka langsung berhubungan dengan produsen. Lama-lama mereka juga mengembangkan usaha menjadi principal, distributor sekaligus grosir. Sehingga semakin sempit dan tersingkirkan saja ruang gerak mereka yang bergerak dilini bawah terkait dengan ekonomi kerakyatan.

Kebijakan pemerintah yang meminggirkan keberadaan mereka ini, diperkuat dengan Permendag No. 53 Tahun 2008 berisi 28 buah pasal yang yang ditandatangani oleh Ibu Marie Pangestu pada tanggal 12 desember 2008, berisi pengaturan tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan pasar modern.

Besar harapan saya dan sebagian besar pengamat ekonomi kerakyatan agar para pasangan Capres dan Cawapres yang akan maju nanti ini ada yang dengan serius menyatakan keberpihakannya atas intervensi dari Negara kepada para pengusaha jaringan akar rumput ini demi pemerataan ekonomi berkelanjutan yang tidak sekedar mengejar growth atau pertumbuhan semata. Kalau toh ada yang meneriakkan kepentingan pemerataan baru terlihat pada iklan Bapak Prabowo Subianto semata, karena kebetulan Bapak Prabowo juga adalah Ketua dari Persatuan Pedagang Tradisonal ini. Namun begitu Pak Prabowo bergabung dengan Ibu Megawati, apakah cerita kedepannya masih akan sama? Ini adalah peluang sekaligus tantangan yang masih belum terlihat nyata digarap dengan serius oleh seluruh pasangan Capres yang tiga pasang ini tanpa terkecuali.

Kalau saja ada dari salah satu pasangan Capres dan Cawapres mengusung sistem ekonomi Indonesia kedalam sebuah sistem mashlahat berbasia Syariah... alangkah berbahagianya 85% penduduk Muslim di Bumi Pertiwi membayangkan keberkahan yang akan diperoleh oleh kita semua tanpa terkecuali dalam koridor Rahmatan lil Alalmin...

Allahu Akbar! Kita belum merdeka!

Kamis, 17 September 2009

Ekonomi Kerakyatan Wahyu Prasetyawan: Marissa Haque & Ikang Fawzi

Oleh: Wahyu Prasetyawan, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia, Doktor Ekonomi-Politik lulusan Universitas Kyoto, Jepang.

Kamis, 04 Juni 2009 13:16 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden. Cuma, masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh. Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Titik. Siapa rakyat yang dimaksudkan? Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan tidak/kurang berpihak kepada rakyat miskin. Pertanyaannya: apakah ada kebijakan ekonomi yang tidak memihak rakyat miskin sehingga perlu muncul istilah ekonomi kerakyatan?

Pertama-tama, dan yang paling penting, istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.

Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda. Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani: yang kaya dan yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun. Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.

Bagaimana ekonomi menangani masalah ketimpangan distribusi tersebut? Yang pasti bukan dengan mengusung ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.

Dari kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat lebih jauh terlibat dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai pro-poor growth (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin).

Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan konsep "pertumbuhan dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia mengadopsi model tersebut dan memberikan nama broad-based growth (pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World Development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth. Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan. Intinya, kebijakan ini berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas.



Pro-poor growth sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UKM.

Ambil kebijakan pendidikan sebagai contoh. Pendidikan diyakini sebagai pilar yang menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Barro 1995 dan 2000). Namun, untuk Indonesia, pendapat tersebut dapat diperdebatkan. Hingga kini pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih banyak ditopang investasi dan konsumsi domestik. Tingkat pendidikan belum terlalu banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Kita punya persoalan serius dengan pendidikan, maka tidak mengejutkan bahwa pendidikan belum banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Rata-rata orang Indonesia baru menempuh pendidikan setara 5,8 tahun. Itu artinya belum lulus sekolah dasar. Dengan tingkat rata-rata pendidikan yang belum lulus SD, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi amat layak untuk dipertanyakan.

Kebijakan mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat. Program pendirian sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan dampak positif bagi pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap sekolah dasar yang didirikan bagi 1.000 anak, berhasil ditingkatkan rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12 menjadi 0,19 (Duflo 2001). Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5 menjadi 2,7. Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan, karena tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.



Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah ada ekonomi kerakyatan? Jawabnya jelas, istilah ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi. Yang dikenal adalah pro-poor growth. Kebijakan ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya dalam bidang peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.

Bagi masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah. Padahal kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak miskin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik, konsentrasi anak-anak miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan serius dan bukan sekadar slogan politik. Bantuan yang sifatnya karitatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil ketimpangan.

Rabu, 16 September 2009

Politik dan Ekonomi Kerakyatan: Marissa Haque Fawzi



Menyaksikan beberapa cara ditelevisi, membaca beberapa koran lokal dan semi internasional, serta baru saja menghabiskan bacaan sebuah buku karangan langsung dari calon Wakil Presiden RI Bapak Prof. Dr. Boediono salah seorang Guru Besar dari FEB-UGM (Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Gajahmada) tempat dimana saya mengambil S2 kesekian, menyisakan pertanyaan besar didalam mimpi tidur subuh pasca santap sahurku di bulan suci Ramadhan ini.

Masihkah kita mampu berharap kepada sebuah sistem ekonomi yang berkelanjutan diatas semangat para founding fathers kita Soekarno-Hatta?

Masihkah ada asa bagi kita untuk tetap percaya kepada pemerintahan SBY?