Minggu, 29 November 2009

Ekonomi Kerakyatan Syariah melalui Pembangunan HTR: Marissa Haque*

Minggu, 29 November 2009

Ekonomi Kerakyatan  Pembangunan HTR melalui Syariah


HTR (Hutan Tanaman Rakyat)
Membaca kembali berita di Kompas tertanggal 16 Oktober 2009 lalu, terkait dengan perolehan permodalan terkait dengan keinginan membangun hutan tanaman rakyat membuat hati ini harap-harap cemas. Setelah berbagai kesulitan terkait dengan sumber pembiayaan dalam negeri saat lalu ditambah lagi dengan keberadaan kasus pidana Bank Century sampai-sampai menimbulkan sebuah frasa dan diksi baru yaitu ‘Cicak vs Buaya.’ Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan di Dephut menyatakan telah menyediakan dana Rp 840 Miliar untuk untuk Hutan kredit Tanaman Rakyat in oleh Koperasi atau Kelompok Tani (Gapoktan).

Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P3H) di Dephut Deny Kustiawan pada tanggal 15 Oktober 2009 lalu menerangkan lebih jauh bahwa telah tercatat ada 2 (dua) pemegang izin HTR (Hutan Tanaman Rakyat) yang telah mengajukan diri tertarik pada pinjaman dengan sumber pembiayaan Dephut tersebut, yaitu: (1) Sumatra Utara; dan (2) Maluku Utara.

P3H ini sendiri sekarang tengah mengelola dana Reboisasi sebesar Rp 1,4 Trilyun,-, dimana sebagian dari dana tersebut digunakan untuk kredit pembangunan HTR, dan sebagian lagi sebesar Rp 560 Milyar,- untuk HTR (hutan tanaman industri.) Teknis pengajuannya adalah dengan mengajukan kredit tersebut kepada Bupati diwilayah kompetensi kerjanya masing-masing. Dengan teknis sebagai berikut: (1) Bupati menerbitkan cadangan kawasan hutan produksi utnuk HTR atas nama kelompok tani ataupun koperasi; selanjutnya (2) Menhut menerbitkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR.

Konsep kerja dari sistem pembiayaan ini dibangun berdasarkan prinsip kerja “kemitraan.” Dimana petani/gapoktan boleh menggandeng/digandeng oleh para pihak lain untuk mmbangun HTR tersebut. Roni Syaefulah dari Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Dephut menerangkan lebih lanjut bahwa dengan swadaya artinya para petani.gapoktan membangun sendiri, dan pola pengembangan dimaksukan bahwa investor membangun HTR lalu menjualnya melalui P3H. kemudian masyarakat mengangsur pembayaran melalui P3H.

Jemput Bola Ekonomi Syariah
MES (Maysarakat Ekonomi Syariah) secara sangat jeli melihat kesempatan terbuka bagi sektor pembiayaan HTR ini sebagai salah satu bidang sosialisasi sistem bagi hasil berbasis ilmu ekonomi Islam dimana sektor ekonominya memiliki underlying asset yang nyata harus dapat memanfaatkan peluang potensi pembiayaan pemangunan HTR tersebut. Menurut Sekjen Asosiasi Ahli Ekonomi Islam Agustianto, pinjamaan dengan pola pembiayaan syariah dimana pemilik modal dan pekerja membagi resiko usaha dukup adil untuk dijalankan didalam bisnis HTR ini. Jadi tunggu apa lagi? Tinggal MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) melalui Ketum dan atau Sekjennya dapat pro aktif menjemput bola dengan mengadakan pendekatan kepada para instansi terkait, antara lain: (1) Dephut melalui Menteri Kehutanan; (2) Kemnekop-UKM melalui Menkop-UKM; (3) Bank Indonesia memalui Deputy Pembiayaan Syariah, dan lain sebaginya.

* Marissa Haque Fawzi
   Ketua Bidang Sosialisasi MES (Masyarakat Ekonomi Syariah)

Sabtu, 14 November 2009

Tentang Pusat Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta

Terdorong ingin ikut menyuarakan pentingnya keberpihakan pada masyarakat strata luas pada lini tengah-agak bawah, saya memberanikan diri meng-copy-paste dari sumber aslinya dikampusku dengan alamat sebagai berikut:

 



Pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dipicu oleh keprihatinan terhadap perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia, tidak hanya semakin jauh dari cita-cita proklamasi tetapi juga semakin meminggirkan rakyat dalam proses penyelenggaraan ekonomi. Secara resmi, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM yang lahir dengan nama Pusat Studi Ekonomi Pancasila, dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2002 berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 177/P/SK/HKTL/2002, dengan Kepala Prof. Dr. Mubyarto (Alm).

Perubahan nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan terjadi pada tanggal 3 April 2006 yaitu dengan terbitnya SK Rektor Universitas Gadjah Mada No. 176/P/SK/HT/2006.


Alasan perubahan nama ini antara lain adalah:

(1) untuk menyesuaikan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk menyelenggarakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan; (2) amanat Tap MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004; (3) amanat Tap MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional; (4) untuk meningkatkan peran Pusat Studi dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan; (5) untuk memperluas peluang Pusat Studi dalam mengembangkan diri.

Tujuan pendirian PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah untuk melaksanakan kajian-kajian serius dalam bidang teori dan praksis ekonomi Indonesia, baik yang bersifat induktif-empirik maupun deduktif-logis. Kajian-kajian melalui pendekatan multi-disipliner tersebut dijalankan dengan mengacu langsung pada dasar filsafat dan ideologi nasional. Rumusan tentang cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Mekanisme operasional untuk mewujudkan cita-cita tersebut terumuskan dalam pasal 33 ayat 1, 2, dan 3, UUD 1945. Pasal-pasal ini sesungguhnya merupakan upaya perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat dan untuk mengoreksi struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kegiatan utama PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan sistem ekonomi kerakyatan di berbagai tempat di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut sebagian besar diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel ilmiah. Selama periode 2002 – 2005, tidak kurang dari 32 judul buku dan makalah yang diterbitkan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Kegiatan penting lainnya adalah pelatihan, lokakarya, dan seminar bulanan. Permasalahan Permasalahan yang digarap oleh PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM tidak dapat dipisahkan dari semakin dominannya pengaruh globalisasi dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Saat ini globalisasi memang merupakan mantra yang selalu harus dilekatkan pada setiap gerak ekonomi, bahkan menjadi resep mujarab (prescription) bagi pemecahan berbagai masalah dunia.

Ada keyakinan global bahwa perdagangan dan pergerakan kapital dan informasi yang berlangsung secara bebas akan menghasilkan hal terbaik bagi kemajuan perekonomian dunia. Dengan demikian, globalisasi dan liberalisasi dipandang sebagai cara terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Itulah kini yang banyak diyakini orang dan secara sistematis disosialisasikan oleh IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan dunia (WTO).



Globalisasi dalam pengertian inilah yang disebut dengan globalisasi neoliberal. Neoliberalisme adalah satu gerakan yang ingin mengusung ideologi kapitalisme-liberalisme klasik yang mendambakan kebebasan penuh, yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir dan kebijakan ekonomi di negara-negara sedang berkembang. Sementara itu, paradigma pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni ajaran-ajaran ekonomi Neoklasik yang sarat dengan kepentingan kaum fundamentalis pasar.

Paradigma pendidikan ekonomi seperti itu tidak hanya bias terhadap usaha-usaha besar di sektor modern tetapi juga abai terhadap ekonomi rakyat tempat sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan nasibnya. Secara sistematis sistem pendidikan ekonomi yang bercorak kapitalis-neoliberal tersebut dikukuhkan dalam desain kurikulum, metode pembelajaran, buku-buku ajar, dan kerangka berpikir staf pengajar ilmu ekonomi yang berorientasi neoliberal.